Demokrasi
Hardiknas
KAMPUS
PENDIDIKAN
Kehidupan Demokrasi dan Pendidikan Kita; Refleksi Filosofis Hari Pendidikan Nasional
Sokrates terkemuka dalam sejarah merupakan salah satu pemikir yang membenci demokrasi. Bukan tanpa alasan, ketidaksetujuannya atas Demokrasi berprinsip bahwa seluruh masyarakat setara dan memiliki kebebasan. Siapapun itu, terlepas dari suku, ras, preferensi ideologi, kaum buruh atau orang yang tak berpendidikan sama harganya di mata demokrasi. Hal itu yang seringkali menyebabkan kelahiran orang-orang bodoh menjadi pemimpin.
Seorang ahli tata negara yang telah melahap ratusan rak perpustakaan bisa jadi kalah suara politisnya dalam menjelaskan "bagaimana ketidakadilan hukum di suatu negara?" dibandingkan dengan seorang artis musik yang baru tenar kemarin. Seorang ilmuwan yang nyaris menghabiskan waktu hidupnya untuk penelitian bisa jadi kalah suara dalam menerangkan “mengapa terjadi gempa?” dibandingkan dengan dukun yang menjelaskan gempa terjadi karena Nyi Roro Kidul marah karena adanya perda syariah pelarangan memakai kemben.
Ilustrasi yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah jika kita sedang bepergian dengan kapal, sedangkan kita punya dua pilihan untuk siapa yang akan menjadi nahkoda kapal. Pilihannya antara orang yang memiliki keahlihan mengemudikan kapal dan orang yang tidak punya pengetahuan cara menjalankan kapal. Siapakah yang paling ideal untuk menjadi pemimpin kapal?
Jika dalam demokrasi, orang yang tidak berpengetahuan dapat menjadi pemimpin kapal mengalahkan orang yang ahli mengemudi kapal. Keputusan publik didasarkan oleh suara terbanyak bukan atas dasar rasionalitas. Terdengar keputusan konyol jika orang-orang memilih pemimpin yang tidak berpengetahuan untuk memegang kendali kapal. Namun itulah demokrasi yang jarang kita sadari.
Demokrasi sering dijadikan tangga kekuasaan yang pada saat seorang sampai diatas, dia membakar tangga tersebut. Seorang diktator Hitler dipilih melalu proses yang demokratis, namun pada saat berkuasa ia memberangus semua perkakas demokrasi. Iran berasib tidak jauh berbeda saat terpilihnya Khomeini yang dipercaya oleh rakyat berujung kapada penghianatanya kepada Demokrasi. Sampai sekarang rezim iran masih membelenggu kebebasan sipil.
Demokrasi dapat melahirkan pemimpin tirani yang kemudian membunuh demokrasi itu sendiri atau bahkan kemanusiaan.
Kelemahan demokrasi bukan menjadi alasan untuk mengganti sistem demokrasi dengan yang lainya. Karena sampai sekarang belum ada sistem politik yang dapat mengakomodir keadilan sepraktis demokrasi. Kelemahan demokrasi tersebut dapat kita tambal dengan memperbaiki kualitas rakyatnya. Ketidaksetujuan sokrates mengimplikasian bahwa rakyat dapat mudah ditipu, diperdaya dan dijadikan tangga kekuasaan oleh polesan citra politisi.
Disini tugas pendidikan adalah mempersiapkan masyarakat supaya siap dengan kehidupan demokrasi yang serba riuh. Untuk hal itu pendidikan harus mengajarkan cara bernalar kritis yang berfungsi untuk menjernihkan kebisingan demokrasi. Setiap masyarakat harus cermat dalam membedakan antara retorika politik omong kosong, ujaran kebencian, politik identitas dan fakta saintific agar tidak mudah diperdaya layaknya domba yang digiring ke tempat pejagalan. Kemampuan berpikir kritis ini menjadi dasar dalam menjaga toleransi, kontrol kekuasaan serta merawat kewarasan publik di dalam iklim demokrasi.
Konsepsi ideal tersebut mengajak kita bertanya “bagaimana dengan pendidikan kita? apakah pendidikan kita sudah compatible dengan demokrasi? ”
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama kita bisa menengok percakapan kita di media sosial sebagai cermin perilaku manusia Indonesia dalam berpikir. Bila kita mau menyusuri berbagai komentar-komentar nitizen maka dapat menunjukan bahwa media sosial telah menjadi ladang beternak kebencian. Masyarakat kita dapat dengan mudah dibohongi dan terprovokasi dalam merespon informasi. Minimnya literasi digital dan kedangkalan berpikir menumbuh kembangkan fanatisme, kesesatan berpikir dan hoax menjadi lebih subur. Media sosial yang seharusnya sebagai wadah untuk merekatkan kearaban sosial justru menjadi tempat pertandingan sentimen. Nitizen ibarat seperti anak kecil yang gampang cengeng, tidak memiliki kebranian rasional dan mudah ikut-ikutan. Demokrasi sama dengan memberikan kebebasan kepada anak kecil yang belum bisa menentukan pilihannya sendiri. Hal ini berbahaya.
Kedua, kita patut menyalahkan pendidikan formal kita yang bukan hanya gagal namun turut melahirkan manusia-manusia yang gagap terhadap kebebasan demokrasi. Desain pendidikan kita adalah bagaimana melahirkan lulusan-lulusan yang siap dipekerjakan di dunia industri. Kini kita mengenal istilah link and match yang berupaya mengawinkan pendidikan dengan industri. Oleh karena itu kebanyakan sekolah mengajarkan ilmu praktis yang berguna untuk pekerjaan Industri. Akhirnya sekolah sama saja dengan balai latihan kerja untuk melahirkan lulusan yang bukan hanya siap dipekerjakan namun juga menjadi mesin-mesin eksploitasi kapitalisme.
Disatu sisi konsep pendidikan semacam ini memang sebuah solusi instan untuk menjawab tantangan yang diberikan oleh dunia industri. Revolusi industri yang berpengaruh besar dalam merubah cara hidup manusia membuat kita mau tidak mau mengikuti logika industri. Namun, pendidikan sebagai otak peradaban terlalu mahal jika hanya untuk digadaikan dengan kepentingan praktis ekonomis. Akibatnya, pendidikan kita kehilangan arah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal inilah yang dapat membuat pendidikan kita gagal dalam melahirkan manusia-manusia kritis yang sadar akan realitas demokrasi. Pendidikan seringkali lupa akan hal fundamental ini.
Ketiga, pembelajaran dalam pendidikan kita kebanyakan masih terjebak pada metode konvensional. Guru adalah sumber pengetahuan dan proses belajar adalah transfer pengetahuan. Proses belajar seperti khotib yang sedang memberikan ceramah kepada jemaah. Percakapan di kelas seringkali masih kental dengan bias nuansa religi, kritik tajam dibatalkan oleh tradisi sopan santun, perdebatan ide dianggap percekcokan kebencian, mengajukan pikiran baru dianggap bertentangan dengan nilai, perbedaan pendapat tidak disikapi sebagai transaksi ide. Pendidikan gagal membentuk perangai ilmiah.
Akibatnya ketajaman berpikir kritis siswa harus rela dikorbankan. Padahal yang terpenting dalam pendidikan bukan seberapa banyak pengetahuan namun seberapa benar cara berpikir seorang. Oleh karena itu siswa harus dilatih keruntutan dalam bernalar dengan menanamkan tradisi berdebat dan membuat kelas sebagai tempat terbebas untuk berpikir. Dengan cara seperti ini demokrasi dapat terselenggara dengan pertunjukan akrobat ide gagasan yang rasional. Ruang-ruang publik akan diisi oleh percakapan-percakapan yang bermutu.
Jika kita percaya bahwa pemilu adalah jantung demokrasi maka pendidikan adalah otak demokrasi. Memperbaiki pendidikan sama artinya dengan menjaga kewarasan demokrasi. Bila demokrasi suatu bangsa maju maka menjadi cerminan bahwa manusia-manusia berkualitas. Demokrasi adalah sistem yang hanya bisa dijalankan untuk orang-orang berpikir.
Penulis: Yusuf Mukib (*)
Penyunting: Tresna Sujarwanto
*) Penulis adalah Mahasiswa Aktif STKIP PGRI Pacitan. Seorang aktivis organisasi antara lain BEM, HMI, Petupa dan komunitas lingkungan.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment